REVOLUSI BUDAYA
Dalam pembahasan topik kedua tentang revolusi budaya yang
mungkin saya sudah analisa dan mencari referensi untuk dijadikan sebagai informasi dimana judul
dalam arsip ini adalah REVOLUSI BUDAYA INDONESIA , secara pengertian kata “Revolusi
“ yaitu perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial).
revolusi budaya saat ini seakan begitu deras mengikis secara
perlahan akar budaya bangsa Indonesia, baik budaya bahasa moral serta agama.
Banyak factor yang menyebabkan budaya local dilupakan di masa sekarang ini.
Masuknya budaya asing ke Indonesia sebenarnya merupakan hal yang wajar, asalkan
budaya tersebut sesuai dengan kepribadian bangsa. Namun pada kenyataanya budaya
asing mulai mendominasi sehingga budaya local mulai dilupakan.
Suatu ironis kebudayaan sendiri dijauhi oleh anak muda sekarang. Tidak habis
piker mengapa kaum muda sekarang lebih suka ala boyband/girlband, seksi dancer,
hip hop yang sama sekali tidak mencerminkan ciri khas budaya Indonesia yang
ramah, sopan dan berkepribadian luhur.Di Banjarbaru beberapa waktu lalu
tepatnya di lapangan Murjani tarian tidak etis yang sering dikenal sebagai
seksi dancer ditampilkan dalam suatu acara promosi salah satu perusahaan rokok.
Aksi tarian itu ditampilkan di depan anak-anak di bawah umur yang berjarak
hanya beberapa meter saja.
Bukanlah sesuatu hal yang aneh ketika pihak yang seharusnya mengingatkan malah
ikut menikmati tarian energik yang identic dengan busana minim dipertontonkan
tanpa ada pengawasan ataupun peringatan bagi anak di bawah umur. Sebagian orang
menganggap itu hanya sebagai hiburan.
Di mana letak pengawasan orangtua saat anak-anal yang harusnya berada di rumah
malah dibiarkan berkeliaran bukan pada tempat dan waktunya?
Dalam tinjauan psikologi perkembangan, peran orangtua dibutuhkan dalam
mendampingi dan memberitahu bagaimana mereka bisa menyesuaikan diri pada
perubahan, perkembangan dan adanya perbedaan di dalam lingkungan mereka.
Anak-anak tidak bisa dibiarkan lepas ke dunianya sendiri.
Logika yang muncul, jika lingkungan mereka tidak tepat maka anak-anak ini akan
mendapat dampak negatif, baik perubahan psikologinya ataupun kepribadiannya.
Memang benar anak dibebaskan untuk memilih apa yang menurutnya itu cocok untuk
dirinya. Di sinilah orangtua wajib mengarahkan dan membimbing. Pembelajaran
seni tari pada anak usia dini sangat berpengaruh terhadap pola perkembangan
anak yang ditandai dengan perkembangan motoric kasar dan motoric halus, pola
bahasa dan piker, emosi jiwa serta perkembangan social anak.
Perjalanan
Perkembangan Sejarah karakter dan moral Persatuan Bangsa Besar Indonesia di
Abad ke 21 ini. Adapun kajian secara mendalam itu menyangkut berbagai aspek
masalah dimensi sejarah perkembangan
budaya karakter Bangsa Indonesia sepanjang eksistensinya mulai
sejak Sumpah Pemuda tahun 1928 hingga pada jaman globalisasi (post)modern
sekarang ini yang jelas telah ‘mengacaukan’ dan ‘mengkerdilkan’ jatidiri bangsa
Indonesia.
Apa perlu diadakan
‘REVOLUSI KEBUDAYAAN’ setelah diadakan kajian atas realitas perjalanan sejarah
perkembangan Budaya Karakter Bangsa Indonesia yang berlangsung dalam Indonesia
Merdeka selama 67 tahun?
Lepas dari kenyataan
yang ada bahwa pembangunan fisik (politik dan ekonomi) setelah 67 tahun
Indonesia Merdeka telah berlangsung dengan pesat, namun saat ini dengan
prihatin dapat dikatakan juga bahwa gerakan reformasi selama 14 tahun
berlangsung sudah gagal, terutama dalam membangun karakter bangsa yang
bermental dan bermoral ‘Bhinneka Tunggal Ika’ dan ‘Pancasila’. Karena sebagian
besar pemimpin2 NKRI masih tetap bermental budaya jaman orde baru dengan sifat2
negatif materialisme dan pragmatisme (KKN. Serakah dll). Pendidikan, Budaya dan Agama yang seharusnya menjadi benteng etik, moral
dan spiritual, juga sudah turut dalam ‘dekadensi moral’ karena secara
terang-terangan sebagian pelakunya telah terkooptasi oleh keadaan tsb yang
tidak dapat dikendalikan lagi. Maka tidak heran, secara konsep, budaya
reformasi Indonesia mengalami inflasi, dan secara gerakan,
budaya reformasi mengalami involusi. Muncul konsep konsep yang
dangkal dan menyimpang dari hakekat dua prinsip dasar Republik Indonesia yang
merdeka yakni ‘Bhineka Tunggal Ika’ dan ‘Pancasila’ sehingga terjadi keruwetan
budaya yang luar biasa tanpa membawa perubahan karakter Negara dan Bangsa
Indonesia (nation & character building) seperti bunyi retorika Bung Karno
waktu ia berkuasa. Pimpinan nasional sekarangpun sudah terbawa oleh arus
‘budaya orde baru’ tsb yang sangat kental bersifat elitis feodalistis
sentralistis dengan kebiasaan
protokoler yang seremonial dan kaku maupun terlalu sibuk dengan koalisi partai2
politik yang sudah kehilangan moral jatidiri bangsa dan negara (ideologi dan
idealisme kerakyatan) yang pernah dibentuk para pendiri Republik Indonesia 67
tahun yang lalu. Hampir tidak dirasakan adanya suatu “sense of urgency”
dan “sense of solidarity” terhadap masalah-masalah krisis multi dimensional
bangsa Indonesia akibat krisis mental dan moral tsb. Seakan-akan gerakan
reformasi sedang berlangsung tanpa Tokoh Sentral yang dapat menjadi panutan
disegala bidang kehidupan karena keterpurukan bangsa dan negara Indonesia dalam
keadaan yang serba sulit. Lagipula nampaknya tidak ada Tema Sentral yang
menjadi referensi bersama.
Karenanya, menurut
hemat kami, Tema Sentral kepemimpinan era yang akan datang terlebih dahulu
harus ditingkatkan dari pendekatan Reformasi ke pendekatan ‘REVOLUSI BUDAYA MENTAL’ disertai perobahan dan
pembaharuan sistem pemerintahan yang lebih sederhana dan mudah dikontrol.
Revolusi Kebudayaan Mental (‘cuci otak’ atau metanoia) disertai perobahan dan
pembaharuan sistem Negara yang lebih sederhana, lebih desentralised dan
terkontrol. Hal tsb. diharapkan dapat dilaksanakan oleh Pemimpin2 Negara
yang akan datang agar dapat mengadopsi tema sentral tsb. untuk dijadikan
referensi perjuangan gerakan REVOLUSI BUDAYA bagi seluruh bangsa. Apa salahnya,
bahwa Tema Sentral setelah 67 tahun merdeka mengandung suatu budaya gaya hidup yang hemat dan sederhana, suatu mental manusia Indonesia yang
lebih idealistis yang beretika dan bermoral dan bebas dari korupsi maupun
nepotisme, serta melaksanakan dan menghargai suatu ‘rule of law’ yang berwibawa
dan bersih. Dengan melaksanakan Revolusi Budaya disertai penyerdehanaan
sistem pemerintahan dengan mekanisme kontrol yang tepat, maka mulai dari
pimpinan negara, para pembantunya, aparat Kehakiman, Kejaksaan, Polri dan TNI,
serta para anggota MPR, DPR dan DPD, dimulai dari Ibukota Jakarta sampai
kedaerah otonom tingkat dua akan dapat menahan “nafsu” keserakahan budaya
korupsi dan nepotisme.
Di bidang Ekonomi sudah saatnya Revolusi
Kebudayaan akan kembalikan kekuatan Bangsa Indonesia pada kekuatan budaya inisiatif dan kreativitas
ekonomi rakyat dengan mengadakan pembangunan yang merata diseluruh kepulauan
Indonesia dan bukan saja di sentra2 ekonomi di Jakarta dan pulau Jawa. Demikian
juga bahwa kekayaan alam Indonesia tidak saja terkonsentrir dan dikuasai oleh
segelintir pengusaha dan politisi kakap di Jakarta, tetapi juga diupayakan
supaya harus merata dan dikuasai oleh anak bangsa sendiri diseluruh kepulauan
Indonesia. Jelas kita perlu modal, tetapi modal harus dipahami sebagai
pemodalan pemaksimalan Etos kerja yang merata pula. Yang paling utama adalah
bahwa kita harus percaya pada kemampuan kita, konon memang yang tinggal kita
punyai kini setelah krisis multi dimensional hanyalah:
1.
dua tangan kita yang bekerja
2. otak yang kreatif
3. hati yang penuh dengan semangat
baja.
Kita harus kembalikan budaya
percaya diri ini, tanpa ketergantungan terlalu besar dari modal luar negeri.
Budaya percaya diri dan harga diri untuk
mencapai kemandirian sebagai budaya bangsa, harus sedini mungkin dimulaikan.
Dengan demikian, kita didaerah dapat pula melakukan kontrol yang ketat terhadap
kiprah budaya “gaya hidup korupsi dan nepotisme” yang diperlihatkan oleh
pelaku-pelaku elit politik di daerah juga.
Sekali lagi, suatu perobahan budaya gaya hidup yang dimulaikan dari
Jakarta sampai kedaerah bahkan sampai ke desa2 sekalipun harus mencerminkan
keseriusan revolusi budaya mental yang bermoral Bangsa Indonesia dalam era
globalisasi kehidupan sekarang ini.
Lepas dari masalah kepemimpinan nasional sebagai panutan Revolusi Budaya,
kita diperhadapkan dengan pertanyaan yang sangat krusial, yakni: bagaimanakah Revolusi Budaya itu dapat
terjadi atau dapat kita upayakan sendiri di Indonesia? Dari pengalaman
yang kita peroleh adalah ketidak mampuan mengaktualisasikan gagasan-gagasan
dalam tindakan nyata. Dunia Indonesia yang sejahtera secara merata yang kita
semua idamkan tidak akan terjadi hanya karena kita telah mengungkapkan dan
mendiskusikan Reformasi kearah Revolusi Budaya dan Agama. Dunia Indonesia hanya akan berobah kalau kita
sekalian mampu dan berani ikut merobahnya secara sadar dan revolusioner. Rakyat
Indonesia harus bertekad tidak akan lagi memilih bahkan menyingkirkan pemimpin2
negara dan bangsa yang tidak peka dengan Revolusi Budaya tersebut. Apabila
gagasan Revolusi Budaya telah
diterjemahkan kedalam program tindakan,
dan program tindakan telah direalisasikan kedalam tindakan nyata, maka kekhawatiran atas
suatu gagasan yang semu, telah terjawab. Untuk melakukan Revolusi Budaya dan
Agama, menurut Clifford Geertz kita memerlukan semacam “tenaga dalam” dan ‘tindakan nyata yang konsekwen’, yakni “…rasa
berkewajiban dari dalam….menuntut penyerahan diri dan mengokohkan komitmen
emosional untuk bertindak melakukan perobahan total”.
Seorang Pemimpin Indonesia,
bahkan para pemimpin Indonesia yang akan dipilih pada Pemilu dan Pemilihan
Presiden/Wkl Presiden yad, mutlah harus berjiwa sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh Geertz tsb.
“Tenaga dalam dan tindakan yang nyata” yang disebut oleh Geertz
sebagai “vitalitas moral dan tindakan
yang bermoral dan berani” ini lahir oleh karena komitmen yang total
kepada apa yang diyakini oleh Bangsa Indonesia yakni Karakter Bangsa Indonesia
yang Merdeka yang bersandar kepada Nilai-Nilai luhur ‘Bhinneka Tunggal Ika’ dan
‘Pancasila’ sebagai dua dasar Negara Republik Indonesia yang abadi. Oleh karena
ETOS adalah bagian atau saripati kebudayaan sebuah masyarakat, maka dengan ini
jelaslah bahwa baik budaya maupun agama mempunyai fungsi dan potensi yang vital untuk menyumbang, mentransformasikan bahkan
membentuk ‘kebudayaan baru’. Dan cara maupun mekanisme untuk membentuk
‘kebudayaan yang baru’ melalui suatu ‘Revolusi Kebudayaan’ dapat dilakukan oleh
seorang Pemimpin Nasional yang baru maupun Pemimpin2 baru di pusat dan daerah
dengan suatu methode yang pernah diciptakan oleh para ahli managemen organisasi
yang berkumpul di MIT USA beberapa tahun lalu dan dilaporkan oleh Peter M Senge
dalam bukunya ‘The Fifth Discipline’. Semangat ‘Revolusi Kebudayaan’ yang
diaplikasikan bersama sama dengan penerapan ‘The Rule of Law’ sangatlah
diharapkan Bangsa Indonesia dalam merayakan 67 tahun Indonesia Merdeka.
Potensi, artinya suatu kemampuan yang tersimpan untuk melakukan apa yang
seharusnya dilakukan. Dalam kenyaataan, potensi ‘REVOLUSI KEBUDAYAAN’ tidak terjadi dengan
sendirinya; Ia harus dengan sengaja
diprakarsai dan diaktipkan. Oleh sebab itu, calon-calon pemimpin Bangsa
Indonesia yang baru nanti, baik di pusat maupun di daerah-daerah harus mulai
sekarang dicari dan diidentifikasi untuk diperlengkapi dengan suatu semangat
dan metode ‘Revolusi Kebudayaan’. Dan bangsa Indonesia akan bersyukur
memperingati ‘Sumpah Pemuda’ tahun 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan RI tahun
1945 dengan suatu visi dan misi yang akan mentransformasikan mental dan moral
Bangsa Indonesia melalui ‘Revolusi Kebudayaan’, Perobahan dan Pembaharuan
Sistem Pemerintahan yang terkontrol, maupun penerapan ‘The Rule of Law’ yang
konsekwen. Karena, hanya dengan ‘Semangat Revolusioner’ tersebut Bangsa
Indonesia dapat melakukan perobahan total yang berarti demi lestarinya
cita-cita Semangat Kerakyatan para Pelopor Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia yang didasari oleh hakekat nilai-nilai ‘Bhinneka Tunggal Ika’ dan
‘Pancasila’.
Faktor kedua yang menjadi penyebab buruknya kualitas negara dan
berbagai persoalan negara Indonesia adalah tidak tersedianya budaya yang unggul
atau bahkan buruknya kualitas budaya yang ada. Neo dan Chen dalam bukunya The
Dynamic Governance (2008) menyebutkan tiga faktor utama tercapainya kemajuan
Singapura seperti sekarang ini; yaitu (1) Dynamic Capabilities (kapabilitas dinamis) meliputi
kemampuan melihat perubahan ke depan, kemampuan untuk terus menerus melakukan
perbandingan dengan negara lain dan kemampuan untuk terus menerus memperbaiki
sistem dan proses; (2) Culture, yang meliputi principle dan beliefs seperti
budaya anti korupsi, budaya kinerja, meritokrasi, kehati-hatian dan berpikir
jangka panjang; dan (3) Change, yaitu kemampuan melakukan inovasi dan menyusun
kebijakan yang adaptif bagi perubahan lingkungan dan tuntutan masyarakat.
Ketiga faktor kemajuan tersebut tampaknya absen dalam
penyelenggaran negara di Indonesia. Negara saat ini bukan saja tidak memiliki
kapabilitas dinamis untuk menyusun perubahan-perubahan dalam rangka perwujudan
tujuan-tujuan bernegara, tetapi tidak di dukung oleh budaya dasar yang menjadi
prasyarat bekerjanya negara secara efektif, efisien, transparan, akuntabel dan
berkinerja tinggi. Alih-alih budaya anti korupsi, sebaliknya budaya dominan
yang ada saat ini tercermin dari perilaku penguasa pada umumnya adalah
pembiaran terhadap berbagai kasus korupsi atau mungkin menjadi bagian dari
korupsi. Korupsi sebagai budaya tampaknya tidak terhindarkan dalam berbagai
praktek politik, pemerintahan dan birokrasi. Tidak mengherankan jika
efektivitas pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK selalu mengalami
jalan buntu. Hal ini selain karena tidak sebandingnya kemampuan kelembagaan KPK
dengan jumlah dan kualitas kasus-kasus korupsi yang terjadi, juga karena
pemberantasan korupsi saat ini lebih banyak dititikberatkan pada upaya represif
daripada prenventif berupa perubahan budaya anti korupsi.
Di level birokrasi, budaya dominan yang ada saat ini adalah budaya
kekuasaan dan bukan budaya kinerja. Promosi jabatan tidak didasarkan pada
meritokrasi atas kompetensi dan kinerja, melainkan didasarkan pada afiliasi
politik dan kepentingan. Budaya kinerja sebagai budaya unggul hampir tidak
mungkin terjadi, karena pekerjaan-pekerjaan birokrasi tidak pernah diukur
kinerjanya baik output maupun dampak. Pekerjaan birokrasi selalu berkait dengan
orientasi proyek dan kepentingan untuk mendapatkan rente dari uang negara.
Berbagai persoalan tersebut tampaknya bermuara pada kelemahan budaya yang
dimiliki oleh penguasa negara maupun masyarakat. Belajar dari pengalaman Cina,
revolusi budaya (cultural revolution) merupakan salah satu fondasi penting
dalam tahapan pencapaian Cina seperti sekarang ini. Revolusi budaya dilakukan
di Cina dalam kurun waktu tahun 1966 sampai dengan tahun 1978, dengan melakukan
perubahan radikal atas nilai dasar dan cara-cara bekerjanya semua penyelenggara
negara. Perubahan budaya ini dilakukan dengan komitmen politik yang sangat
tinggi dari pimpinan tertinggi negara atas semua kader Partai Komunis tentang
nilai-nilai kemajuan yang harus dicapai oleh Cina dan menghentikan semua
cara-cara lama yang tidak kondusif dalam mengelola negara. Hal ini mudah
dilakukan di Cina karena sistem partai politik yang tunggal, serta kesatuan
komando yang kuat dalam politik, ekonomi maupun birokrasi.
Revolusi budaya adalah perubahan radikal terhadap nilai (values),
cetak pikir (mind set), cara pandang (way of thinking) dan cara hidup dan cara
kerja (way of life) yang unggul dari semua penyelenggara negara, yaitu pimpinan
lembaga negara, presiden, para menteri, politisi dan anggota dewan, kepala
daerah, pejabat birokrasi dan tentu saja masyarakat sipil dan kalangan
pengusaha. Budaya unggul harus menjadi gerakan nasional yang dipimpin oleh
Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, misalnya saja budaya
anti korupsi dan budaya berkinerja tinggi. Kedua budaya tersebut harus
digelorakan dan menjadi darah daging oleh penyelenggara negara melalui berbagai
macam gerakan pembudayaan dan internalisasi nilai. Perubahan budaya ini memang
tidak bisa cepat selesai, meskipun demikian hal ini dapat diakselarasi melalui
berbagai gerakan yang terencana dan komitmen politik yang tinggi dari Presiden.
Itu sebabnya gerakan ini harus menjadi suatu revolusi yaitu gerakan yang
dilakukan secara bersama-sama dalam waktu yang bersamaan. Penulis yakin, tanpa
disertai dengan revolusi budaya maka berbagai macam perubahan sistem yang
terjadi tidak akan memberikan dampak yang luar biasa bagi kehidupan berbangsa
dan bernegara.
ΓΌ Referensi
http://sosbud.kompasiana.com/2013/03/06/revolusi-kebudayaan--534746.html
0 komentar:
Posting Komentar